Hai...Hai...Hai...

Terima kasih sudah mengunjungi blog saya...

Do you know me?

I'm a farmer...
I'm a scientist...
I'm an university student of Padjadjaran...
I'm an agrotechnologician...
I'm Andreas Panggabean...

and I'm so proud to be my self...

Sabtu, 13 November 2010

Posisi Pertanian dalam Teori Pembangunan Ekonomi Rostow dan Lewis

Posisi Pertanian dalam Teori Pembangunan Ekonomi Rostow

Posisi pertanian sangat memegang peranan penting pada tahapan pertama pertumbuhan ekonomi Rostow (masyarakat taradisional), tetapi semakin berkembang ke tahap selanjutnya, posisi pertanian dan perannya semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh munculnya pemikiran-pemikiran masyarakat yang baru yang terjadi, seperti:
• Penilaian yang berdasarkan spesialisasi, tidak hanya di bidang pertanian.
• Transformasi dari sektor pertanian ke sector lain.
• Munculnya jiwa kewirausahaan yang bergerak bukan hanya dalam bidang pertanian.
• Lebih efektif dan efisien dalam bekerja, mengakibatkan tenaga kerja di pertanian berkurang karena penggunaan teknologi. Akibatnya perkerja pindah ke sector lain, seperti industri nonpertanian.
Di Indonesia, pertanian yang tumbuh memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Sejarah menunjukkan bahwa pembangunan pertanian merupakan prasyarat untuk adanya kemajuan dalam tahapan-tahapan pembangunan selanjutnya. Karena pertanian memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek dalam perekonomian di Indonesia, maka pembangunan pertanian merupakan penentu utama dalam pertumbuhan ekonomi pedesaan, termasuk di dalamnya non-pertanian di pedesaan. Dengan demikian, pembangunan pertanian menjadi bagian yang esensial bagi upaya-upaya pengurangan kemiskinan di pedesaan maupun di perkotaan. Indonesia sebagai negara agraris tidak boleh meninggalkan potensi pertaniannya, tetapi dengan merubah pola pikir primitive menjadi modern melalui pendidikan dan kebijakan pemerintah, maka posisi pertanian dapat memegang peranan penting lagi.


Posisi Pertanian dalam Teori Pembangunan Ekonomi Lewis

Posisi pertanian dalam teori pembangunan ekonomi lewis berubah dari penting menjadi kurang penting akibat perubahan struktur social. Semakin berkembangnya zaman membuat kebanyakan masyarakat berpikir bahwa pertanian kurang dapat membuat hidup ekonomi perkapita baik. Akibatnya terjadi peralihan tenaga kerja dari sector pertanian “tradisional” ke sector industry “modern”. Hal ini diasumsikan bahwa pendapatan di perkotaan tempat industri lebih tinggi daripada pendapatan pertanian di pedesaan. Kebanyakan masyarakat sudah tidak terpaku pada sektor pertanian, dengan asumsi bahwa banyak orang yang mencari kerja ke kota yang berakibat berlebihnya tenaga kerja. Kurangnya modal untuk membuat lapangan kerja baru juga menjadi dampak lain dalam teori ini.
Sumbangan sektor pertanian terhadap ekonomi memang cenderung turun, sesuai dengan semakin meningkat dan terdiversifikasinya perekonomian Indonesia. Namun yang perlu diamati juga adalah peranan pertanian dalam menyerap angkatan kerja. Pangsa sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja ternyata masih yang paling besar. Dari kenyataan itu dapat dilihat bahwa ada ketimpangan dalam struktur ekonomi Indonesia, di mana sektor yang sudah mulai menyusut peranannya dalam menyumbang ekonomi ternyata harus tetap menampung jumlah tenaga kerja yang jauh lebih banyak daripada yang sewajarnya terjadi.

Pembangunan yang berlangsung selama ini ternyata memang belum berhasil mengangkat petani dan pertanian kepada posisi yang seharusnya. Kesenjangan kesejahteraan petani dibandingkan dengan pekerja di sektor lainnya memang semakin melebar. Produktivitas usahatani dan kualitas produk tidak menunjukkan perbaikan yang berarti. Produk-produk pertanian semakin berkurang daya saingnya dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Keterpurukan dan tidak berkembangnya sektor pertanian ini memiliki dampak luas dan dalam bagi pembangunan ekonomi dan pembangunan Indonesia secara keseluruhan. Tertinggalnya sektor pertanian mengakibatkan pembangunan ekonomi dan pembangunan negara pada umumnya tidak memiliki landasan yang kokoh dan mudah runtuh saat terjadi perubahan keadaan.


Hal-hal yang diharapkan dalam pertanian di Indonesia:
• Pertama, sektor pertanian yang tumbuh cepat akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk di pedesaan yang pada gilirannya dapat meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor non-pertanian.
• Kedua, pertumbuhan sektor pertanian akan mendorong pembangunan agroindustri.
• Ketiga, kemajuan teknologi di sektor pertanian yang diwujudkan dalampeningkatan produktivitas tenaga kerja, menjadikan sektor ini dapat menjadi sumber tanaga kerja yang relatif murah bagi sektor non-pertanian.
• Keempat, pertumbuhan sektor pertanian yang diikuti oleh naiknya pendapatan penduduk pedesaan akan meningkatkan tabungan.


Contoh Kasus
• Pertanian di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat
Kabupaten Tanah Datar terletak di antara dua gunung, yaitu gunung Merapi dan gunung Singgalang. Kondisi topografi ini didominasi oleh daerah perbukitan, serta memiliki dua pertiga bagian danau Singkarak. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah pertanian, hal ini terlihat dari dominasi sektor pertanian dalam perekonomian wilayah, penyerapan tenaga kerja dan pemanfaatan lahan. Lokasi pertanian tersebar merata di seluruh wilayah dan produksinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini membutuhkan jaringan jalan sebagai pendukung aktivitas sektor pertanian tersebut mulai dari kegiatan produksi, pasca panen dan pemasaran.
Sementara itu kondisi jaringan jalan yang ada belum dapat mendukung sepenuhnya aktivitas pertanian tersebut, hal ini terlihat dari masih banyaknya ruas jalan yang lebarnya belum memenuhi syarat, kondisi permukaan jalan yang rusak dan masih banyak ruas jalan yang melalui lokasi pertanian belum dapat dilalui kendaraan roda dua sekalipun, dengan mengatasi penanganan jaringan jalan ini, maka tentunya aktifitas sektor pertanian akan lebih ekonomis sehingga dengan sendirinya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dan sekaligus akan meningkatkan pengembangan wilayah dari kabupaten Tanah Datar itu sendiri.
Kabupaten Tanah Datar adalah daerah agraris, lebih 70% penduduknya bekerja pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan maupun peternakan. Begitu juga dengan usaha masyarakat pada sektor lain juga berbasis pertanian seperti pariwisata dan industri kecil atau agro industri. Masyarakat Tanah Datar juga dikenal gemar menabung dengan total dana tabungan masyarakat sebesar Rp. 223 Milyar tahun 2004.
Pontensi ekonomi kabupaten Tanah Datar dapat dikatagorikan atas tiga katagori yaitu: Sangat Potensial, Potensial dan Tidak Potensial. Untuk sektor pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah ubi kayu, kubis, karet, tebu, peternakan sapi potong, peternakan kuda, peternakan kambing potong, budidaya ayam ras pedaging, ayam bukan ras, budidaya itik dan budidaya ikan air tawar. Sektor lain yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah industri konstruksi bangunan sipil, pedagang eceran makanan olahan hasil bumi, usaha warung telekomunikasi, pedagang cinderamata dan wisata sejarah. Kabupaten Tanah Datar yang potensial untuk hampir semua sektor pertanian kecuali cengkeh, tembakau, bayam dan merica. Sedangkan untuk sektor pertambangan yang potensial dikembangkan adalah galian kapur dan sirtu.
Sektor usaha pertambangan
Industri pertambangan juga telah berdiri di Kabupaten Tanah Datar ini, yang memiliki potensi bahan tambang berupa batu gamping kristalian yang sekarang dikelola oleh PT. Inkalko Agung, dolomit, granit, sirtukil, tanah liat, batu setengah permata, trass, fosfat, batubara, besi, emas, belerang, kuarsa dan slate.
Sektor usaha industry pertanian
Seiring semakin majunya perekonomian kabupaten ini, maka sector industripun mulai berkembang. Industri di Kabupaten Tanah Datar didominasi oleh industri kecil seperti tenunan pandai sikek yang terdapat di kecamatan Sepuluh Koto, kopi bubuk, kerupuk ubi, kerupuk kulit, anyaman lidi, gula aren, gula tebu. Sektor industri besar berupa peternakan ulat sutera oleh PT. Sutera Krida. Pada tahun 2004 nilai investasi sektor industri kecil di kabupaten Tanah Datar mencapai Rp. 7 milyar dengan nilai produksi sebesar Rp. 60 milyar.
Sektor usaha pariwisata
Di Kabupaten Tanah Datar saat ini masih banyak terdapat peninggalan sejarah adat Minangkabau tersebut, baik berupa benda maupun tatanan budaya adat Minangkabau. Ikrar “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” ini disebut juga dengan Sumpah Satie yang juga di Tanah Datar dilahirkan, yaitu tempatnya di Bukit Marapalam Puncak Pato, Kecamatan Lintau Buo Utara. Kabupaten Tanah Datar sebagai tempat asal mula suku Minangkabau banyak sekali memiliki tempat sejarah. Industri wisata di kabupaten Tanah Datar ini sangat potensial untuk dikembangkan.
Tempat wisata sejarah yang terdapat di kabupaten Tanah Datar ini antara lain Istana Pagaruyung, Balairuang Sari, Puncak Pato, Prasasti Adityawarman, Batu Angkek-angkek, Rumah Gadang Balimbing, Kincir Air, Batu Basurek, Nagari Tuo Pariangan, Fort van der Capellen, Batu Batikam dan Ustano Rajo. Sedangkan untuk wisata alam dan budaya di kabupaten Tanah Datar adalah Lembah Anai, Panorama Tabek Pateh, Danau Singkarak Bukit Batu Patah dan Ngalau Pangian.

Analisis Teori Rostow:
Pertanian di Kabupaten Tanah Datar merupakan sector dominan, terbukti dari 70% penduduknya bekerja di sector pertanian. Tahap pertumbuhan menurut Rostow, daaerah ini berada pada tahap ketiga, yaitu tahap lepas landas sebagai mana umumnya posisi di Indonesia. Hal ini terlihat dari Munculnya beberapa indusri baru yang menjadi “leading sektor” selain pertanian, seperti sektor industri pertambangan, berupa batu gamping kristalian yang sekarang dikelola oleh PT. Inkalko Agung dan pariwisata. Munculnya banyak wirausaha yang berkembang di sector pertanian, maupun nonpertanian, seperti industri kecil penghasil kopi bubuk, kerupuk ubi, kerupuk kulit, anyaman lidi, gula aren, gula tebu. Disamping itu terdapat pula industri besar seperti peternakan ulat sutera oleh PT. Sutera Krida.

Analisis Teori Lewis:
Perubahan struktural Kabupaten Tanah datar juga terlihat dari semakin berkurangnya penduduk yang bekerja di sektor pertanian ke sector nonpertanian, seperti pertambangan dan periwisata. Berdirinya industry di perkotaan membuat sebagian dari masyarakat memilih bekerja sebagai buruh pabrik di kota. Mereka menilai upahnya lebih besar daripada bekerja sebagai petani.

Mau dapat uang?
Coba lihat link ini:

1. http://klikajadeh.com/?r=pratama
2. http://www.y-bux.com/?r=pratama
3. http://www.sentraclix.com/?r=pratama
4. http://duitbux.com/?r=ands
5. https://vistaclix.com/register.php/pratama.html
6. http://www.idr-clickit.com/register.php/panggabean.html

Dampak Pertambahan Penduduk Terhadap Ketahanan Pangan

Pendapat Mengenai Dampak Pertambahan penduduk Indonesia terhadap ketahanan pangan

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen dinilai sudah mengkhawatirkan. Angka ini naik dari periode sebelumnya, 1990 - 2000 yang mencatat laju pertumbuhan 1,45 persen. Dari hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,56 juta jiwa. Dengan komposisi laki-laki 119,51 juta dan perempuan 118,05 juta jiwa. Ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah Cina, India dan Amerika Serikat.
Hal ini menyebabkan pengeksploitasian sumber daya alam dalam skala besar-besaran demi mencapai produktivitas pangan yang memenuhi kebutuhan penduduk. Pencapaian swasembada pangan di Indonesia mulai dilakukan tanpa terlalu memikirkan konservasi alam dan lingkungan. Akibatnya diprediksi ketahanan pangan yang dicapai saat ini melalui swasembada beras tidak bertahan lama. Ketahanan pangan Indonesia terancam, bahkan jika dilihat dari kekurangan dalam penyediaan stok pangan, negara ini sudah dapat digolongkan dalam taraf kekurangan pangan. Oleh karena itu, harus dilakukan perubahan yang mendasar terhadap kebijakan pertanian, yaitu menata kembali agraria. Dengan pandangan yang demikian, maka pembangunan pertanian sulit dilakukan di masa depan.

"Sebab, sudah semakin banyak petani kecil yang tidak menguasai tanah garapan akibat semakin sempitnya lahan pertanian yang dapat dikuasai," demikian diungkapkan oleh Ketua Badan Pengurusan Yayasan Akatiga Sediono MP Tjondronegoro di Jakarta, Senin (10/6).

"Dengan aset lahan yang kurang merata pembagiannya, sulit untuk meningkatkan produksinya," tambah guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini. Menurut Tjondro, bila Indonesia sungguh-sungguh ingin memperkuat ketahanan pangan, ada teori klasik yang dapat digunakan, yaitu mengembalikan lahan pertanian kepada petani. Hal ini diprediksi dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia.

Keterkaitan Teori Terhadap Apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam Usaha Ketahanan Pangan

Hal-hal yang dilakukan pemerintah adalah:
1. Menghasilkan nilai optimalisasi rasio lahan pangan dengan penduduk melalui rekayasa kapasitas ekosistem lahan (eco-enginering). Untuk peningkatan kapasitas ekosistem pangan yang terintegrasi.
2. Peningkatan nilai tukar petani yang menguntungkan bagi petani penggarap, yang selama ini menikmati keuntungan besarnya dan hamper tidak punya resiko adalah penjualan komoditi pangan, karena rantai pasar yang panjang, bukan petani penggarap tetapi yang selalu penuh resiko. Oleh karena itu kebijakan pemerintah tentang benefit usaha pangan yang adil dan menguntungkan harus dilaksanakan, khususnya terhadap petani penggarap.
3. Pengendalian pertumbuhan penduduk yang sangat ketat dan segera melalui program keluarga bencana. Kalau hal ini tidak tercapai, maka krisis pangan besar akan terjadi di Indonesia.
4. Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, yang memerlukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Implementasi Perlakuan Kebijakan Pemerintah saat ini.

Saai ini keberhasilan pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan dalam hal ketahanan pangan masih dapat terealisasi. Hal ini terlihata dari tercapainya swasembada beras dan bahan pokok lainnya. Tetapi jika memaksakan produktivitas tinggi tanpa memikirkan konservasi alam dan lingkungan sekitar pertanian, dikhawatirkan hal ini tidak bertahan lama. Belum lagi pertambahan penduduk Indonesia yang mengarah pada angka yang snagat menghawatirkan.

Solusi hal ini adalah mendukung kebijakan pemerintah dalam peningkatan produktivitas bahan pangan, tetapi denagn memikirkan efek eksploitasi. Sehingga diperlukan adanya konservasi demi pemulihan lahan dan sumber daya yang berkelanjutan di masa yang akan datang. Kita juga harus turut menjalankan kebijakan pemerintah terhadap program Keluarga Berencana. Kesadaran masyarakat akan hal ini dapat melancarkan kebijakan pemerintah tentang ketahanan pangan. Dalam hal ini peran penyuluh sangatlah penting. Baik penyuluh pertanian, maupun penyuluh program keluarga berencana tersebut. Jika dilakukan secara bersamaan, dan berkesinambungan, maka ketahanan pangan Indonesia dapat tercapai.



Pandangan Umum Terhadap Fenomena Pertanian Indonesia Melalui Analis Teori Pembangunan Pertanian

1. Kesesuaian Teori Pembangunan Pertanian terhadap pertanian di Indonesia.
a. Teori Eksploitasi Sumber Daya
Model Bahan Pokok (Harold A. Innis, 1927)
“Peningkatan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pokok dan ekspor bahan pokok (pangan, kayu dan bangunan).”
Eksploitasi sumber daya di Indonesia dalam model ini dapat terlihat dari sekltor pangan, khususnya padi. Peningkatan produksi padi untuk mencapai swasembada beras Indonesia dipengaruhi oleh semakin cepatnya masa panen dari tanaman padi setelah ditemukannya varietas-varietas baru dengan umur tanaman yang lebih cepat. Hal ini dapat memenuhi ketahan pangan pokok Indonesia.
Model Jendela Bagi Kelebihan Produk / Vent for Surplus Model (Hyla Myint, 1957)
“Peningkatan produksi dengan memanfaatkan surplus tenaga kerja dan lahan pada kondisi teknologi yang relative tetap, yang dirangsang oleh perluasan pasar “baru” dengan penekanan biaya angkutan.”
Dalam model ini, eksploitas terhadap pembukaan lahan kelapa sawit baru di beberapa daerah Kalimantan di Indonesia berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya pangsa pasar minyak sawit di dunia.

b. Teori Konservasi Sumber Daya Alam
Pentingnya pemeliharaan kandungan mineral tanah / pencegahan kelelahan lahan (Justus Von Liebig, 1923). “Penambahan produk marjinal yang semakin menurun pada setiap input tenaga kerja, modal dan usaha tani”).
Doktrin kelangkaan sumber daya alam (Barnet dan Morse, 1963). “Kelangkaan sumberdaya alam akan mengakibatkan kelangkaan atau keterbatasan pertumbukan ekonomi dan selanjutnya berakibat pula pada berkurangnya derajat kehidupan masyarakat.”
Sebagai contoh yaitu masih ditemukannya lading berpindah akibat tidak dimengertinya pengkonservasian lahan yang telah kehabisan mineral tanah. Contoh lain adalah kelangkaan minyak tanah dimana pemakainya adalah masyarakat ekonomi menengah kebawah (termasuk petani) secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan petani itu sendiri.

c. Teori Lokasi Usaha Tani
“Urbanisasi akan menentukan lokasi peroduksi pertanian dan berpengaruh terhadap teknik serta intensitas penanamannya”, (Johann Heinnrich von thunen).
“Pertumbuhan industry perkotaan akan berpengaruh terhadap keragaman geografis dan penghasilan tenaga kerja”, (W. Schultz)
Dalam perkembangan pertanian di Indonesia, faktor penyebab terjadinya urbanisasi adalah karena berkembangpesatnya permintaan tenaga kerja di sektor nonpertanian. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja dengan sebaran geografis yang lebih besar dibandingkan sebaran kegiatan ekonomi.

d. Teori Difusi
“Munculnya varietas baru dan teknik bertani dan beternak yang lebih baik merupakan sumber utama dari pertumbuhan produktivitas usaha tani” (Carl O. Sauer dan N. I. Vavilov, 1969).
Berbagai penelitian tanaman padi di IRRI dan Indonesia telah menemukan varietas baru yang unggul dalam segi umur panen maupun kualitas padi yang dihasilkan membuat peningkatan produktivitas yang sangat signifikan.
“Difusi adalah suatu proses dimana inovasi dikomunikasikan menggunakan saluran tertentu dalam suatu waktu di antara anggota social” (Everett Rogers, 1969). Sistem social dalam kelompok adapter (penerima inovasi), sesuai dengan tingkat keinovatifannya terbagi atas: Innovators, Early Adaptors, Early Majority, Late Majority dan Laggards.
Untuk membangun pertanian di Indonesia, peranan yang harus berperan ekstra adalah penyuluh pertanian (Early Adopters), agar petani (Laggards) dapat menerima difusi teknologi dan inovasi teknologi dengan cepat. Dengan semakin bertambahnya petani yang mengerti informasi pertanian terbaru maka kesejahteraan pertanian Indonesia dapat tercapai.

e. Teori Input Biaya Tinggi
“Untuk mengubah usahatani tradisional kea rah usaha tani yang lebih produktif, adalah diberlakukannya investasi untuk menutup biaya tinggi yang digunakan dalam kegiatan untuk mengubah usaha tani tersebut” (Theodore W. Schultz)
Hal ini masih kurang dapat diterapkan di Indonesia menginagat petani Indonesia berada di bawah rata-rata standar ekonomi (miskin). Ketidakmampuan teknologi menyebabkan tidak adanya pendidikan dan pengetahuan sebagai investasi dalam bentuk ilmu, apalagi investasi dalam bentuk uang. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menghambat hai ini adalah kepemilikan lahan yang sangat kecil perinidividu serta kurangnya pengaplikasian teknologi akibat keterbatasan ekonomi, pengetahuan maupun ketidakcocokan terhadap pertanian Indonesia sendiri.

f. Model Penyerapan Inovasi
“Perubahan teknologi menyebabkan perubahan kelembagaan”, (Karl Max).
“Pembanguna pertanian berlangsung sebagai proses menuju keseimbangan antara perubahan dalam sumbangan sumberdaya, sumbangan cultural, teknologi dan kelembagaan”, (Hayami dan Ruttan)
Adanya kelompok tani (termasuk gapoktan) dapat membangun dan memajukan pertanian akibat adanya kesamaan rasa, tujuan dan cultural dalam satu daerah sehingga inovasi teknologi dalam kelembagaan tersebut dapat lebih mudah diserap.


Contoh Kasus:
Mencari jalan keluar dari kemandegan inovasi (Iwan Setiawan)

Secara historis empiris, umur penyuluhan pertanian di Indonesia sudah 99 tahun (1905-2004), atau 189 tahun jika dihitung dari awal pendirian Kebun Raya Bogor (1815). Suatu masa yang semestinya sudah menempatkan penyuluhan pertanian sebagai kelembagaan yang matang dan siap, seperti halnya penyuluhan pertanian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, Taiwan, dan lainnya. Kecenderungannya, penyuluhan pertanian Indonesia semakin tenggelam. Sementara “Better Farming, Better Business, Better Living, Better Environment, and Better Community “ tinggal selogan, karena kenyataannya sebagian besar petani tetap berada pada kondisi subsistensi. Lebih celakanya, pada saat penyuluhan pemerintah melemah, informasi yang dibutuhkan petani tidak serta merta tereliminasi oleh media massa, penyuluh swasta atau semi swasta, asosiasi petani atau kelompok tani, perguruan tinggi, maupun lembaga swadaya masyarakat.

Meskipun informasi pertanian dari media massa ada tetapi sangat minim, penyuluh pertanian pemerintah tetap terpuruk dan keterkaitannya dengan petani dan peneliti (triangulasi) semakin menunjukkan kesenjangan yang serius (World Bank, 1985; Kaimowitz, 1990), formulator (penyuluh dari perusahaan swasta) cenderung mengejar kepentingan mereka yang dapat bersifat eksploitatif dan destruktif (Roling, 1990), LSM yang hubungannya semakin kuat dengan masyarakat bawah sebagian besar lemah dalam bidang teknik pertanian (Chambers et al, 1989), Pusat Informasi Pasar dan Pertanian (PIP) belum efektif, dan Kelompok Tani atau Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) belum bisa diandalkan (van den Ban dan Hawkins, 1995).

Padahal bagi petani, informasi (atau inovasi) yang terkait dengan pertaniannya adalah kebutuhan yang bersifat dinamis. Apalagi pasca Revolusi Hijau petani menghadapi permasalahan yang sangat kompleks, seperti kerusakan lingkungan, resurgensi, erosi genetik, penurunan produktivitas lahan, perubahan iklim, ketergantungan atas pupuk dan pestisida sintetis, perubahan pola tanam, pemasaran, pencemaran, dan sebagainya, yang dampaknya akan dirasakan oleh petani, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Reijntjes, et al., 1992). Beban petani Indonesia ternyata tidak semakin ringan dengan berkembangnya sector industri, sektor jasa, dan sektor-sektor lainnya, bahkan cenderung semakin berat. Sebagai pihak yang dibebani untuk menyediakan kecukupan pangan bagi 210 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, petani harus merangkak dalam himpitan kebijakan (pencabutan subsidi, ledakan produk impor akibat kurangnya proteksi, dan polusi politik), konversi lahan, pencemaran lingkungan, degradasi mutu lahan, resurgensi, banjir, kekeringan, fluktuasi pasar, dan involusi. Beban petani semakin bertambah berat seiring dengan digulirkannya isyu-isyu global yang dituangkan dalam berbagai skema perjanjian perdagangan bebas.

Namun sejak Robetson (1971), Geertz (1983), Rogers (1983), Scott (1993), hingga van den Ban dan Hawkins (1996), petani tetap didudukkan sebagai pihak yang salah, karena lamban. Padahal sudah sejak semula para aktor sosial mengatakan bahwa petani itu sesungguhnya tidak bodoh, berdaya juang tinggi, rasional daalm menjalankan usahataninya, sangat responsif dan siap mengusahakan komoditas apa saja yang dipandang akan memberikan keuntungan kepadanya. Adapun keterlambatan atau keengganan petani untuk mengadopsi suatu inovasi, bukan disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka atas inovasi tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh lambat, tidak sesuai, dan kurang lengkapnya informasi yang disampaikan kepada petani. Bagi petani di jaman sekarang ini, penyuluhan tidak terlalu dipersoalkan, yang penting pasarnya terjamin dan fasilitasnya terjangkau, petani pasti mengejar prasyaratnya.

Meskipun implementasi penyuluhan pertanian di Indonesia terjebak dalam rekayasa social dengan prinsif dipaksa, kapaksa, terpaksa, dan biasa yang digulirkannya selama program revolusi hijau, namun penyuluhan pertanian sedikit banyak telah membawa perubahan pada perilaku petani. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh petani, maka perubahan perilaku dan daya adaptasi petani pun berjalan lebih cepat lagi, sementara penyuluh malah melemah. Bahkan ketika teknologi komunikasi dan informatika berkembang pesat, penyuluh masih berkutat dengan “Metode Tetesan Minyak”. Pada perkembangnya, ketika negara-negara maju mulai menerapkan swastanisasi penyuluhan dan memaksimalkan pemanfaatan teknologi komunikasi bagi pembangunan pertanian, penyuluh malah melembagakan dan terjebak dalam teori adopsi inovasi Rogers (1983). Kondisi tersebut terus terbawa meski pendekatan pembangunan pertanian sudah bergeser ke agribisnis. Kecenderungannya, kelembagaan penyuluhan swasta dan semi swasta pun terbawa arus teori Rogers. Kondisi seperti ini pada kenyataannya kurang dikritisi, padahal jelas-jelas bisa membawa petani Indonesia tetap tertinggal, rugi, dan tidak beranjak dari subsistensi. Apalagi dalam arus informasi, permintaan, dan perubahan selera atau gaya hidup yang berjalan cepat seperti sekarang ini.

Hal-hal yang harus dilakukan:
1. Jika petani kita ingin maju dan mendapat keuntungan yang berarti, maka kita harus berusaha menciptakan kondisi dimana sebagian besar petani masuk kepada golongan inovator (golongan perintis atau pelopor) dan early adopter (golongan penerap dini). Dengan demikian, dalam segala hal petani tidak akan ketinggalan atau terlambat. Prasyaratnya, tentu harus mengoptimalkan sumberdaya dan faktor-faktor pendukung proses tersebut, termasuk faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi menurut Rogers dan Shoemaker (1983).

2. Langkah-langkah untuk mewujudkannya adalah:
1) Menegakkan Undang-Undang. Penyiaran bagi media massa;
2) Swastanisasi Penyuluhan Pertanian;
3) Meningkatkan Partisipasi Media Komunitas;
4) Mentautkan kembali peneliti-penyuluh-swasta;
5) Memperbaiki Pendekatan Pendokumentasian dan Pengelolaan Inovasi;
6) Mengefektifkan Penyuluh Pemerintah;
7) Mengembangkan kelembagaan petani;
8) Meningkatkan dan Mengefektifkan Pemberdayaan Petani; dan sebagainya.

Kenyataan yang terjadi di Indonesia
Hampir setiap hari, persoalan yang terkait dengan distorsi distribusi mengisi kolom-kolom media cetak maupun elektronik. Setiap membicarakan “distribusi” di Indonesia, kita akan segera dibanjiri oleh seabreg ragam persoalan, baik persoalan distribusi pangan (terutama musim kemarau), distribusi sembako, distribusi pupuk, distribusi bahan bakar, distribusi anggaran, distribusi bantuan kemanusiaan, distribusi tenaga kerja, distribusi kredit, distribusi kursi politik, distribusi jabatan, distribusi angkutan, distribusi pedagang kaki lima, distribusi kewenangan, distribusi lahan, maupun distribusi hukum. Singkatnya, segala hal yang berbau distribusi di Indonesia terdiagnosa mengandung persoalan, baik bagi kategori-kategori sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun kebangsaan. Hanya fenomenanya ada yang terbuka dan ada yang laten. Fenomena yang kedua seringkali menjadi bom waktu, padahal fenomena yang terbuka pun sulit untuk ditanggulangi.

Kenapa demikian?
Karena proses distribusi di Indonesia diciptakan sedemikian longgar oleh para kapitalis lokal, nasional, maupun internasional bagi aktor-aktor kejahatan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan budaya untuk melakukan distorsi atau malpraktek. Maksimalisasi keuntungan dan kekuasaan, melegalisasi tatanan yang indisipliner yang dideduksi secara serampangan esbagai kelajiman mekanisme paasr global. Ketidakberdayaan para pejuang keadilan dalam memperjuangkan mekanisme normal, tampaknya semakin mengukuhkan keyakinan dan klaim kaum kapitalis atas budaya malpraktek --idiologinya-- dalam proses distribusi. Pada perkembangannya, para pejuang keadilan semakin menampakan sikap skeptis dan fatalisme. Akibatnya, budaya yang jelasjelas menyimpang menjadi rujukan (sebagai kebenaran semu) masyarakat kelas atas, kelas menengah, dan sebagian kaum proletar yang tadinya selalu mengusung kebenaran. Anehnya, kebenaran semu --memasyarakatnya distorsi distribusi-- yang membudaya di Indonesia terpragmentasi dari pangkal budayanya (kapitalisme), kemudian menjelma menjadi warna tersendiri yang sangat kejam. Transaksi-transaksi, birokrasi-birokrasi, administrasi-adminsitrasi, pelayanan-pelayanan, dan jasa-jasa yang terkait dengan distribusi, penuh dengan warna relasi-relasi mekanis, arogansi, diskriminasi, dan kanibalisme, tak terkecuali dalam tatanan hukum, pendidikan, suku, agama, ras, dan tatanan lain yang berperpspektif gender.

Pendapat (Argumentasi) terhadap contoh kasus:
Mendominankan kelompok Inovator dan Early Adopter adalah kondusif bagi Indonesia untuk dapat mengejar ketertinggalan dan melepaskan diri dari ketergantungan atas inovasi luar. Peran penyuluh pertanian yang selama ini merosot perlu diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya Informasi, kreativitas, fasilitas, dan political will merupakan senjata untuk meningkatkan daya saing yang akan menjadi jargon di Abad ini. Mensinergikan inovasi lokal dengan inovasi global merupakan langkah awal (prakondisi) atau jembatan untuk mengglobalkan inovasi lokal.


Kesimpulan dan Pemikiran

Agar pembangunan pertanian di Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia, maka seluruh aspek posotif dari teori-teori pembangunan pertanian tersebut dapat diadopsi. Seperti penjelasan di awal mengenai fakta nyata yang terjadi di Indonesia sesuai Pandangan teori pembangunan pertanian, maka yang perlu dilakukan di Indonesia adalah:
1. Mengeksploitasi sumberdaya yang bertujuan meningkatan produksi dengan maksud pencapaian swasembada dapat dilakukan dengan mempertimbangkan sisi keuntungan ekonomi yang berdampak pada kenaikan pendapatan petani (kesejahteraan petani meningkat).
2. Konservasi sumberdaya lahan segera dilakukan jika ditemukan lahan yang mengalami “kelelahan” agar produktifitas hasil pertanian terjaga dan tidak mengganggu pendapatan petani yang berujung stabilnya kesejahteraan petani.
3. Pencegahan urbanisasi dengan maksimalisasi pengembangan pertanian di daerah desa yang dapat menyerap tenaga kerja. Lokasi usaha tani yang berada di desa dapat membuat pertumbuhan pertanian di desa yang cepat disertai pertumbuhan ekonominya pula.
4. Difusi teknologi dan inovasi pertanian dapat dilakukan dengan mempebanyak Early Adaptors (penyuluh pertanian) maupun mengembangkan petani-petani yang dapat langsung menjadi innovator agar pertanian semakin maju.
5. Dengan adanya investasi biaya tinggi melalui permodalan dan kredit atau investasi ilmu pertanian yang baik melalui pendidikan pertanian oleh penyuluhan, maka diharapkan dapat menciptakan pertanian yang maju secara cepat.
6. Model penerapan inovasi melalui berbagai kelembagaan yang dimiliki petani diharapkan dapat tetap berjalan agar adopsi teknologi dengan cepat dapat diterima oleh petani-petani Indonesia.

Mau dapet uang?
coba lihat link ini:
1. http://klikajadeh.com/?r=pratama
2. http://www.y-bux.com/?r=pratama
3. http://www.sentraclix.com/?r=pratama
4. http://duitbux.com/?r=ands
5. https://vistaclix.com/register.php/pratama.html
6. http://www.idr-clickit.com/register.php/panggabean.html