Hai...Hai...Hai...

Terima kasih sudah mengunjungi blog saya...

Do you know me?

I'm a farmer...
I'm a scientist...
I'm an university student of Padjadjaran...
I'm an agrotechnologician...
I'm Andreas Panggabean...

and I'm so proud to be my self...

Sabtu, 13 November 2010

Dampak Pertambahan Penduduk Terhadap Ketahanan Pangan

Pendapat Mengenai Dampak Pertambahan penduduk Indonesia terhadap ketahanan pangan

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen dinilai sudah mengkhawatirkan. Angka ini naik dari periode sebelumnya, 1990 - 2000 yang mencatat laju pertumbuhan 1,45 persen. Dari hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,56 juta jiwa. Dengan komposisi laki-laki 119,51 juta dan perempuan 118,05 juta jiwa. Ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah Cina, India dan Amerika Serikat.
Hal ini menyebabkan pengeksploitasian sumber daya alam dalam skala besar-besaran demi mencapai produktivitas pangan yang memenuhi kebutuhan penduduk. Pencapaian swasembada pangan di Indonesia mulai dilakukan tanpa terlalu memikirkan konservasi alam dan lingkungan. Akibatnya diprediksi ketahanan pangan yang dicapai saat ini melalui swasembada beras tidak bertahan lama. Ketahanan pangan Indonesia terancam, bahkan jika dilihat dari kekurangan dalam penyediaan stok pangan, negara ini sudah dapat digolongkan dalam taraf kekurangan pangan. Oleh karena itu, harus dilakukan perubahan yang mendasar terhadap kebijakan pertanian, yaitu menata kembali agraria. Dengan pandangan yang demikian, maka pembangunan pertanian sulit dilakukan di masa depan.

"Sebab, sudah semakin banyak petani kecil yang tidak menguasai tanah garapan akibat semakin sempitnya lahan pertanian yang dapat dikuasai," demikian diungkapkan oleh Ketua Badan Pengurusan Yayasan Akatiga Sediono MP Tjondronegoro di Jakarta, Senin (10/6).

"Dengan aset lahan yang kurang merata pembagiannya, sulit untuk meningkatkan produksinya," tambah guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini. Menurut Tjondro, bila Indonesia sungguh-sungguh ingin memperkuat ketahanan pangan, ada teori klasik yang dapat digunakan, yaitu mengembalikan lahan pertanian kepada petani. Hal ini diprediksi dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia.

Keterkaitan Teori Terhadap Apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam Usaha Ketahanan Pangan

Hal-hal yang dilakukan pemerintah adalah:
1. Menghasilkan nilai optimalisasi rasio lahan pangan dengan penduduk melalui rekayasa kapasitas ekosistem lahan (eco-enginering). Untuk peningkatan kapasitas ekosistem pangan yang terintegrasi.
2. Peningkatan nilai tukar petani yang menguntungkan bagi petani penggarap, yang selama ini menikmati keuntungan besarnya dan hamper tidak punya resiko adalah penjualan komoditi pangan, karena rantai pasar yang panjang, bukan petani penggarap tetapi yang selalu penuh resiko. Oleh karena itu kebijakan pemerintah tentang benefit usaha pangan yang adil dan menguntungkan harus dilaksanakan, khususnya terhadap petani penggarap.
3. Pengendalian pertumbuhan penduduk yang sangat ketat dan segera melalui program keluarga bencana. Kalau hal ini tidak tercapai, maka krisis pangan besar akan terjadi di Indonesia.
4. Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, yang memerlukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Implementasi Perlakuan Kebijakan Pemerintah saat ini.

Saai ini keberhasilan pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan dalam hal ketahanan pangan masih dapat terealisasi. Hal ini terlihata dari tercapainya swasembada beras dan bahan pokok lainnya. Tetapi jika memaksakan produktivitas tinggi tanpa memikirkan konservasi alam dan lingkungan sekitar pertanian, dikhawatirkan hal ini tidak bertahan lama. Belum lagi pertambahan penduduk Indonesia yang mengarah pada angka yang snagat menghawatirkan.

Solusi hal ini adalah mendukung kebijakan pemerintah dalam peningkatan produktivitas bahan pangan, tetapi denagn memikirkan efek eksploitasi. Sehingga diperlukan adanya konservasi demi pemulihan lahan dan sumber daya yang berkelanjutan di masa yang akan datang. Kita juga harus turut menjalankan kebijakan pemerintah terhadap program Keluarga Berencana. Kesadaran masyarakat akan hal ini dapat melancarkan kebijakan pemerintah tentang ketahanan pangan. Dalam hal ini peran penyuluh sangatlah penting. Baik penyuluh pertanian, maupun penyuluh program keluarga berencana tersebut. Jika dilakukan secara bersamaan, dan berkesinambungan, maka ketahanan pangan Indonesia dapat tercapai.



Pandangan Umum Terhadap Fenomena Pertanian Indonesia Melalui Analis Teori Pembangunan Pertanian

1. Kesesuaian Teori Pembangunan Pertanian terhadap pertanian di Indonesia.
a. Teori Eksploitasi Sumber Daya
Model Bahan Pokok (Harold A. Innis, 1927)
“Peningkatan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pokok dan ekspor bahan pokok (pangan, kayu dan bangunan).”
Eksploitasi sumber daya di Indonesia dalam model ini dapat terlihat dari sekltor pangan, khususnya padi. Peningkatan produksi padi untuk mencapai swasembada beras Indonesia dipengaruhi oleh semakin cepatnya masa panen dari tanaman padi setelah ditemukannya varietas-varietas baru dengan umur tanaman yang lebih cepat. Hal ini dapat memenuhi ketahan pangan pokok Indonesia.
Model Jendela Bagi Kelebihan Produk / Vent for Surplus Model (Hyla Myint, 1957)
“Peningkatan produksi dengan memanfaatkan surplus tenaga kerja dan lahan pada kondisi teknologi yang relative tetap, yang dirangsang oleh perluasan pasar “baru” dengan penekanan biaya angkutan.”
Dalam model ini, eksploitas terhadap pembukaan lahan kelapa sawit baru di beberapa daerah Kalimantan di Indonesia berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya pangsa pasar minyak sawit di dunia.

b. Teori Konservasi Sumber Daya Alam
Pentingnya pemeliharaan kandungan mineral tanah / pencegahan kelelahan lahan (Justus Von Liebig, 1923). “Penambahan produk marjinal yang semakin menurun pada setiap input tenaga kerja, modal dan usaha tani”).
Doktrin kelangkaan sumber daya alam (Barnet dan Morse, 1963). “Kelangkaan sumberdaya alam akan mengakibatkan kelangkaan atau keterbatasan pertumbukan ekonomi dan selanjutnya berakibat pula pada berkurangnya derajat kehidupan masyarakat.”
Sebagai contoh yaitu masih ditemukannya lading berpindah akibat tidak dimengertinya pengkonservasian lahan yang telah kehabisan mineral tanah. Contoh lain adalah kelangkaan minyak tanah dimana pemakainya adalah masyarakat ekonomi menengah kebawah (termasuk petani) secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan petani itu sendiri.

c. Teori Lokasi Usaha Tani
“Urbanisasi akan menentukan lokasi peroduksi pertanian dan berpengaruh terhadap teknik serta intensitas penanamannya”, (Johann Heinnrich von thunen).
“Pertumbuhan industry perkotaan akan berpengaruh terhadap keragaman geografis dan penghasilan tenaga kerja”, (W. Schultz)
Dalam perkembangan pertanian di Indonesia, faktor penyebab terjadinya urbanisasi adalah karena berkembangpesatnya permintaan tenaga kerja di sektor nonpertanian. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja dengan sebaran geografis yang lebih besar dibandingkan sebaran kegiatan ekonomi.

d. Teori Difusi
“Munculnya varietas baru dan teknik bertani dan beternak yang lebih baik merupakan sumber utama dari pertumbuhan produktivitas usaha tani” (Carl O. Sauer dan N. I. Vavilov, 1969).
Berbagai penelitian tanaman padi di IRRI dan Indonesia telah menemukan varietas baru yang unggul dalam segi umur panen maupun kualitas padi yang dihasilkan membuat peningkatan produktivitas yang sangat signifikan.
“Difusi adalah suatu proses dimana inovasi dikomunikasikan menggunakan saluran tertentu dalam suatu waktu di antara anggota social” (Everett Rogers, 1969). Sistem social dalam kelompok adapter (penerima inovasi), sesuai dengan tingkat keinovatifannya terbagi atas: Innovators, Early Adaptors, Early Majority, Late Majority dan Laggards.
Untuk membangun pertanian di Indonesia, peranan yang harus berperan ekstra adalah penyuluh pertanian (Early Adopters), agar petani (Laggards) dapat menerima difusi teknologi dan inovasi teknologi dengan cepat. Dengan semakin bertambahnya petani yang mengerti informasi pertanian terbaru maka kesejahteraan pertanian Indonesia dapat tercapai.

e. Teori Input Biaya Tinggi
“Untuk mengubah usahatani tradisional kea rah usaha tani yang lebih produktif, adalah diberlakukannya investasi untuk menutup biaya tinggi yang digunakan dalam kegiatan untuk mengubah usaha tani tersebut” (Theodore W. Schultz)
Hal ini masih kurang dapat diterapkan di Indonesia menginagat petani Indonesia berada di bawah rata-rata standar ekonomi (miskin). Ketidakmampuan teknologi menyebabkan tidak adanya pendidikan dan pengetahuan sebagai investasi dalam bentuk ilmu, apalagi investasi dalam bentuk uang. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menghambat hai ini adalah kepemilikan lahan yang sangat kecil perinidividu serta kurangnya pengaplikasian teknologi akibat keterbatasan ekonomi, pengetahuan maupun ketidakcocokan terhadap pertanian Indonesia sendiri.

f. Model Penyerapan Inovasi
“Perubahan teknologi menyebabkan perubahan kelembagaan”, (Karl Max).
“Pembanguna pertanian berlangsung sebagai proses menuju keseimbangan antara perubahan dalam sumbangan sumberdaya, sumbangan cultural, teknologi dan kelembagaan”, (Hayami dan Ruttan)
Adanya kelompok tani (termasuk gapoktan) dapat membangun dan memajukan pertanian akibat adanya kesamaan rasa, tujuan dan cultural dalam satu daerah sehingga inovasi teknologi dalam kelembagaan tersebut dapat lebih mudah diserap.


Contoh Kasus:
Mencari jalan keluar dari kemandegan inovasi (Iwan Setiawan)

Secara historis empiris, umur penyuluhan pertanian di Indonesia sudah 99 tahun (1905-2004), atau 189 tahun jika dihitung dari awal pendirian Kebun Raya Bogor (1815). Suatu masa yang semestinya sudah menempatkan penyuluhan pertanian sebagai kelembagaan yang matang dan siap, seperti halnya penyuluhan pertanian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, Taiwan, dan lainnya. Kecenderungannya, penyuluhan pertanian Indonesia semakin tenggelam. Sementara “Better Farming, Better Business, Better Living, Better Environment, and Better Community “ tinggal selogan, karena kenyataannya sebagian besar petani tetap berada pada kondisi subsistensi. Lebih celakanya, pada saat penyuluhan pemerintah melemah, informasi yang dibutuhkan petani tidak serta merta tereliminasi oleh media massa, penyuluh swasta atau semi swasta, asosiasi petani atau kelompok tani, perguruan tinggi, maupun lembaga swadaya masyarakat.

Meskipun informasi pertanian dari media massa ada tetapi sangat minim, penyuluh pertanian pemerintah tetap terpuruk dan keterkaitannya dengan petani dan peneliti (triangulasi) semakin menunjukkan kesenjangan yang serius (World Bank, 1985; Kaimowitz, 1990), formulator (penyuluh dari perusahaan swasta) cenderung mengejar kepentingan mereka yang dapat bersifat eksploitatif dan destruktif (Roling, 1990), LSM yang hubungannya semakin kuat dengan masyarakat bawah sebagian besar lemah dalam bidang teknik pertanian (Chambers et al, 1989), Pusat Informasi Pasar dan Pertanian (PIP) belum efektif, dan Kelompok Tani atau Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) belum bisa diandalkan (van den Ban dan Hawkins, 1995).

Padahal bagi petani, informasi (atau inovasi) yang terkait dengan pertaniannya adalah kebutuhan yang bersifat dinamis. Apalagi pasca Revolusi Hijau petani menghadapi permasalahan yang sangat kompleks, seperti kerusakan lingkungan, resurgensi, erosi genetik, penurunan produktivitas lahan, perubahan iklim, ketergantungan atas pupuk dan pestisida sintetis, perubahan pola tanam, pemasaran, pencemaran, dan sebagainya, yang dampaknya akan dirasakan oleh petani, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Reijntjes, et al., 1992). Beban petani Indonesia ternyata tidak semakin ringan dengan berkembangnya sector industri, sektor jasa, dan sektor-sektor lainnya, bahkan cenderung semakin berat. Sebagai pihak yang dibebani untuk menyediakan kecukupan pangan bagi 210 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, petani harus merangkak dalam himpitan kebijakan (pencabutan subsidi, ledakan produk impor akibat kurangnya proteksi, dan polusi politik), konversi lahan, pencemaran lingkungan, degradasi mutu lahan, resurgensi, banjir, kekeringan, fluktuasi pasar, dan involusi. Beban petani semakin bertambah berat seiring dengan digulirkannya isyu-isyu global yang dituangkan dalam berbagai skema perjanjian perdagangan bebas.

Namun sejak Robetson (1971), Geertz (1983), Rogers (1983), Scott (1993), hingga van den Ban dan Hawkins (1996), petani tetap didudukkan sebagai pihak yang salah, karena lamban. Padahal sudah sejak semula para aktor sosial mengatakan bahwa petani itu sesungguhnya tidak bodoh, berdaya juang tinggi, rasional daalm menjalankan usahataninya, sangat responsif dan siap mengusahakan komoditas apa saja yang dipandang akan memberikan keuntungan kepadanya. Adapun keterlambatan atau keengganan petani untuk mengadopsi suatu inovasi, bukan disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka atas inovasi tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh lambat, tidak sesuai, dan kurang lengkapnya informasi yang disampaikan kepada petani. Bagi petani di jaman sekarang ini, penyuluhan tidak terlalu dipersoalkan, yang penting pasarnya terjamin dan fasilitasnya terjangkau, petani pasti mengejar prasyaratnya.

Meskipun implementasi penyuluhan pertanian di Indonesia terjebak dalam rekayasa social dengan prinsif dipaksa, kapaksa, terpaksa, dan biasa yang digulirkannya selama program revolusi hijau, namun penyuluhan pertanian sedikit banyak telah membawa perubahan pada perilaku petani. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh petani, maka perubahan perilaku dan daya adaptasi petani pun berjalan lebih cepat lagi, sementara penyuluh malah melemah. Bahkan ketika teknologi komunikasi dan informatika berkembang pesat, penyuluh masih berkutat dengan “Metode Tetesan Minyak”. Pada perkembangnya, ketika negara-negara maju mulai menerapkan swastanisasi penyuluhan dan memaksimalkan pemanfaatan teknologi komunikasi bagi pembangunan pertanian, penyuluh malah melembagakan dan terjebak dalam teori adopsi inovasi Rogers (1983). Kondisi tersebut terus terbawa meski pendekatan pembangunan pertanian sudah bergeser ke agribisnis. Kecenderungannya, kelembagaan penyuluhan swasta dan semi swasta pun terbawa arus teori Rogers. Kondisi seperti ini pada kenyataannya kurang dikritisi, padahal jelas-jelas bisa membawa petani Indonesia tetap tertinggal, rugi, dan tidak beranjak dari subsistensi. Apalagi dalam arus informasi, permintaan, dan perubahan selera atau gaya hidup yang berjalan cepat seperti sekarang ini.

Hal-hal yang harus dilakukan:
1. Jika petani kita ingin maju dan mendapat keuntungan yang berarti, maka kita harus berusaha menciptakan kondisi dimana sebagian besar petani masuk kepada golongan inovator (golongan perintis atau pelopor) dan early adopter (golongan penerap dini). Dengan demikian, dalam segala hal petani tidak akan ketinggalan atau terlambat. Prasyaratnya, tentu harus mengoptimalkan sumberdaya dan faktor-faktor pendukung proses tersebut, termasuk faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi menurut Rogers dan Shoemaker (1983).

2. Langkah-langkah untuk mewujudkannya adalah:
1) Menegakkan Undang-Undang. Penyiaran bagi media massa;
2) Swastanisasi Penyuluhan Pertanian;
3) Meningkatkan Partisipasi Media Komunitas;
4) Mentautkan kembali peneliti-penyuluh-swasta;
5) Memperbaiki Pendekatan Pendokumentasian dan Pengelolaan Inovasi;
6) Mengefektifkan Penyuluh Pemerintah;
7) Mengembangkan kelembagaan petani;
8) Meningkatkan dan Mengefektifkan Pemberdayaan Petani; dan sebagainya.

Kenyataan yang terjadi di Indonesia
Hampir setiap hari, persoalan yang terkait dengan distorsi distribusi mengisi kolom-kolom media cetak maupun elektronik. Setiap membicarakan “distribusi” di Indonesia, kita akan segera dibanjiri oleh seabreg ragam persoalan, baik persoalan distribusi pangan (terutama musim kemarau), distribusi sembako, distribusi pupuk, distribusi bahan bakar, distribusi anggaran, distribusi bantuan kemanusiaan, distribusi tenaga kerja, distribusi kredit, distribusi kursi politik, distribusi jabatan, distribusi angkutan, distribusi pedagang kaki lima, distribusi kewenangan, distribusi lahan, maupun distribusi hukum. Singkatnya, segala hal yang berbau distribusi di Indonesia terdiagnosa mengandung persoalan, baik bagi kategori-kategori sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun kebangsaan. Hanya fenomenanya ada yang terbuka dan ada yang laten. Fenomena yang kedua seringkali menjadi bom waktu, padahal fenomena yang terbuka pun sulit untuk ditanggulangi.

Kenapa demikian?
Karena proses distribusi di Indonesia diciptakan sedemikian longgar oleh para kapitalis lokal, nasional, maupun internasional bagi aktor-aktor kejahatan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan budaya untuk melakukan distorsi atau malpraktek. Maksimalisasi keuntungan dan kekuasaan, melegalisasi tatanan yang indisipliner yang dideduksi secara serampangan esbagai kelajiman mekanisme paasr global. Ketidakberdayaan para pejuang keadilan dalam memperjuangkan mekanisme normal, tampaknya semakin mengukuhkan keyakinan dan klaim kaum kapitalis atas budaya malpraktek --idiologinya-- dalam proses distribusi. Pada perkembangannya, para pejuang keadilan semakin menampakan sikap skeptis dan fatalisme. Akibatnya, budaya yang jelasjelas menyimpang menjadi rujukan (sebagai kebenaran semu) masyarakat kelas atas, kelas menengah, dan sebagian kaum proletar yang tadinya selalu mengusung kebenaran. Anehnya, kebenaran semu --memasyarakatnya distorsi distribusi-- yang membudaya di Indonesia terpragmentasi dari pangkal budayanya (kapitalisme), kemudian menjelma menjadi warna tersendiri yang sangat kejam. Transaksi-transaksi, birokrasi-birokrasi, administrasi-adminsitrasi, pelayanan-pelayanan, dan jasa-jasa yang terkait dengan distribusi, penuh dengan warna relasi-relasi mekanis, arogansi, diskriminasi, dan kanibalisme, tak terkecuali dalam tatanan hukum, pendidikan, suku, agama, ras, dan tatanan lain yang berperpspektif gender.

Pendapat (Argumentasi) terhadap contoh kasus:
Mendominankan kelompok Inovator dan Early Adopter adalah kondusif bagi Indonesia untuk dapat mengejar ketertinggalan dan melepaskan diri dari ketergantungan atas inovasi luar. Peran penyuluh pertanian yang selama ini merosot perlu diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya Informasi, kreativitas, fasilitas, dan political will merupakan senjata untuk meningkatkan daya saing yang akan menjadi jargon di Abad ini. Mensinergikan inovasi lokal dengan inovasi global merupakan langkah awal (prakondisi) atau jembatan untuk mengglobalkan inovasi lokal.


Kesimpulan dan Pemikiran

Agar pembangunan pertanian di Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia, maka seluruh aspek posotif dari teori-teori pembangunan pertanian tersebut dapat diadopsi. Seperti penjelasan di awal mengenai fakta nyata yang terjadi di Indonesia sesuai Pandangan teori pembangunan pertanian, maka yang perlu dilakukan di Indonesia adalah:
1. Mengeksploitasi sumberdaya yang bertujuan meningkatan produksi dengan maksud pencapaian swasembada dapat dilakukan dengan mempertimbangkan sisi keuntungan ekonomi yang berdampak pada kenaikan pendapatan petani (kesejahteraan petani meningkat).
2. Konservasi sumberdaya lahan segera dilakukan jika ditemukan lahan yang mengalami “kelelahan” agar produktifitas hasil pertanian terjaga dan tidak mengganggu pendapatan petani yang berujung stabilnya kesejahteraan petani.
3. Pencegahan urbanisasi dengan maksimalisasi pengembangan pertanian di daerah desa yang dapat menyerap tenaga kerja. Lokasi usaha tani yang berada di desa dapat membuat pertumbuhan pertanian di desa yang cepat disertai pertumbuhan ekonominya pula.
4. Difusi teknologi dan inovasi pertanian dapat dilakukan dengan mempebanyak Early Adaptors (penyuluh pertanian) maupun mengembangkan petani-petani yang dapat langsung menjadi innovator agar pertanian semakin maju.
5. Dengan adanya investasi biaya tinggi melalui permodalan dan kredit atau investasi ilmu pertanian yang baik melalui pendidikan pertanian oleh penyuluhan, maka diharapkan dapat menciptakan pertanian yang maju secara cepat.
6. Model penerapan inovasi melalui berbagai kelembagaan yang dimiliki petani diharapkan dapat tetap berjalan agar adopsi teknologi dengan cepat dapat diterima oleh petani-petani Indonesia.

Mau dapet uang?
coba lihat link ini:
1. http://klikajadeh.com/?r=pratama
2. http://www.y-bux.com/?r=pratama
3. http://www.sentraclix.com/?r=pratama
4. http://duitbux.com/?r=ands
5. https://vistaclix.com/register.php/pratama.html
6. http://www.idr-clickit.com/register.php/panggabean.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar